PENTING, TIPS-TIPS, RAMBU-RAMBU, DAN METODE PENANGANAN PERMASALAHAN DI PAPUA AGAR TUNTAS, MESKIPUN PERLAHAN TETAPI HARUS PASTI
Permasalahan di
Papua tidaklah sederhana sehingga membutuhkan penanganan yang hati-hati dan
perlahan karena kemungkinan banyak aktor-aktor intelektual yang berupaya agar
wilayah Papua terpisah dari NKRI. Sehingga hal ini sangat membutuhkan kesabaran
dari berbagai pihak sambil melakukan upaya-upaya yang dianggap perlu. Oleh
karena itu sangatlah penting, tips-tips, rambu-rambu, dan metode penanganan
permasalahan di Papua agar tuntas, meskipun perlahan tetapi harus pasti.
Salah satu upaya
internal kepada para Prajurit TNI adalah dengan mensosialisasikan pemahaman
penting agar dalam pelaksanaan tugas operasi tidak mudah untuk dipermasalahkan
secara hukum, atau setidak-tidaknya dapat menjadi pembelaan yang dapat dibenarkan
menurut hukum. Sesuatu yang sangat penting dan darurat/urgent tentang
bagaimana meminimalisir korban dalam penugasan dan menyukseskan tugas pokok
organisasi dan kepentingan negara. Inilah pasal-pasal yang sangat berguna bagi
Prajurit TNI dalam penugasan di daerah operasi militer dalam rangka pelaksanaan
operasi militer selain perang (OMSP)
1.
Pasal 11 KUHP: ”Pidana mati dijalankan oleh
algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali pada leher terpidana, dan
mengikatkan tali itu pada tiang gantungan, kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri.
2.
Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer: ”Dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan
pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak
sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.”
Pelaksanaannya dijalankan oleh Polisi Brimob
{Pasal 10 ayat (1)}.
Kewenangan membunuh hanya
atas perintah undang-undang kepada petugas tertentu yang ditunjuk berdasarkan
kewenangan pejabat tertentu yang ditunjuk oleh undang-undang.
Ada 2
keadaan yang diperbolehkan untuk menghilangkan nyawa manusia, yaitu membunuh dalam peperangan dan membunuh dalam menghukum.
Selain ketentuan
yang telah disampaikan di awal terdapat pengecualian yang secara tidak langsung
melindungi kepentingan hukum pribadi seseorang. Terutama sebagai payung hukum
bagi Prajurit TNI dalam penugasan operasi militer terutama pada operasi militer
selain perang (OMSP) dapat menggunakan penerapan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia. Penerapan
payung hukum tersebut digunakan sebagai bentuk perlindungan yang bersifat
represif artinya diterapkan ketika ada serangan dan/atau ancaman serangan,
serta keberbahayaan dan/atau ancaman keberbahayaan terhadap diri sendiri bahkan
terhadap orang lain ataupun barang yang berada di sekitarnya.
Adapun bentuknya
dibagi menjadi dua macam dilihat dari
aspek legalitas pihak lainnya yang berkaitan langsung dengan keadaan kritis
yang sedang dihadapi oleh anggota militer.
1.
Sikap dan perbuatan pihak lain yang bersifat
melawan hukum.
Perhatikan penerapan Pasal 49 ayat (1) KUHP
sebagai berikut:
”Tidak dipidana, barang siapa melakukan
tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain,
kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada
serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada
saat itu”.
Jika kita kaitkan
dengan ketentuan dalam agama Islam, diatur dalam QS. Al-Baqarah: 190, yang
terjemaahannya sebagai berikut: Dan
perangilah di jalan Allāh orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allāh tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.
Perhatikan pula ketentuan Allāh ﷻ dalam
Al-Qurän QS. Al-Maaidah: 32 yang terjemaahannya sebagai berikut:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas di muka bumi.
2.
Sikap dan perbuatan pihak lain yang tidak
bersifat melawan hukum.
Perhatikan penerapan Pasal 48 KUHP sebagai
berikut:
”Barang siapa melakukan tindak pidana karena
pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
Pada keadaan yang
dimaksud pada pasal ini sebetulnya masih ada kaitannya dengan ketentuan Pasal
49 ayat (1) KUHP. Tetapi pada pasal ini yang menjadi penekanannya adalah bukan
perbuatan pihak lain melainkan situasi dan kondisilah yang memaksa seseorang untuk
berbuat lain dari yang diharuskan. Tentunya yang dipertaruhkan disini adalah
keselamatan seseorang. Ketika hanya ada dua pilihan antara menyelamatkan diri
sendiri atau orang lain maka seseorang diperkenankan untuk memilih di antara
keduanya.
Jika seseorang
lebih memilih menyelamatkan diri sendiri daripada orang lain, maka orang
tersebut tidak dapat dipersalahkan dari sisi hukum, karena ketika orang lainpun
memilih hal yang sama maka kepentingan hukum keduanya berada pada posisi
seimbang, sehingga memang karena situasi dan keadaannya diperkenankan untuk
mengambil solusi yang lebih baik, yaitu jika dibandingkan dengan mengabaikan
keselamatan semua orang.
Lagipula tidak bisa diharapkan semua orang
akan lebih mengorbankan dirinya demi keselamatan orang lain.
Contoh:
Ketika ada dua orang mengalami kecelakaan
kapal kemudian keduanya terapung di lautan, sementara hanya tersedia papan atau
pelampung untuk satu orang saja. Ketika di antara keduanya memilih untuk
berusaha menyelamatkan diri masing-masing maka terhadap perkara seperti ini
tidak akan dijatuhkan hukuman terhadap pelakunya.
Mencelakai atau bahkan membunuh orang lain
adalah suatu kejahatan, namun dalam hal ini terdapat unsur peniadaan kesalahan.
Niatnya untuk mencelakai orang lain dimaafkan demi hukum sehingga pelakunya
dapat dibebaskan.
Contoh lain:
Dua orang berada di dalam suatu gedung yang
mana situasi pada saat itu terjadi kebakaran gedung ataupun terjadi gempa. Maka
tidak bisa diharapkan salah satu di antara keduanya saling membantu satu sama
lain jika menurut pertimbangan saat itu sangat tidak memungkinkan untuk saling
membantu karena akan dapat membahayakan keselamatan keduanya. Ketika salah
seorang dari mereka lebih memilih untuk menyelamatkan diri sendiri maka yang
demikian juga tidak akan dipersalahkan menurut hukum.
Membiarkan keselamatan orang lain terancam
atau meninggalkan orang yang membutuhkan orang lain adalah juga suatu
pelanggaran, namun dalam hal ini juga terdapat unsur peniadaan kesalahan.
Niatnya untuk membiarkan orang lain tidak tertolong dimaafkan demi hukum
sehingga pelakunya dapat dibebaskan.
Kedua contoh di atas sangat erat kaitannya
dengan ketentuan Pasal 531 KUHP: ”Barangsiapa ketika menyaksikan seseorang yang
sedang berada dalam bahaya maut tidak memberikan pertolongan yang dapat
diberikan kepada orang itu walaupun tidak membahayakan dirinya atau orang lain,
diancam, bila kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Disitu terdapat syarat ”jika tidak
membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (lagi selain yang dimaksud sebagai
obyek pertama itu)”.
Jika kita hubungkan
dengan pembahasan di atas, dalam hal pelaksanaan OMSP tidak ada institusi
militer manapun (TNI) yang memerintahkan anggotanya untuk melakukan pembunuhan
terhadap pihak-pihak yang mengancam, menggangu, menghambat, dan
menantang/menentang tugas pokok TNI. Untuk memudahkan dalam penyebutan,
pihak-pihak tersebut kita namakan saja dengan ”musuh”. Dalam hal ini adalah niatnya
untuk menimbulkan hilangnya nyawa orang lain yang ditiadakan.
Seorang Prajurit
TNI tidak
didoktrin untuk berniat membunuh musuhnya. Kewenangannya hanya sebatas
menangkap dan/atau melumpuhkan musuh. Kewenangan untuk membunuh seseorang telah
diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
sebagaimana yang dijelaskan di awal pembahasan. Adapun bila terjadi kematian
pada diri musuh yang dimaksud maka itu haruslah sebagai bentuk pembelaan diri
karena terpaksa sebagaimana yang diperbolehkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Jika kita
ilustrasikan dengan kegiatan Prajurit TNI di daerah operasi/penugasan, pada
dasarnya tugas-tugas yang dilaksanakan oleh TNI adalah sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia. Tugas pokok TNI (pasal 7) adalah menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Berkaitan dengan
hal tersebut, sangatlah wajar jika Prajurit TNI yang melaksanakan perintah dari
Pimpinan/Atasannya terpaksa melakukan pembelaan diri ketika mereka diserang
oleh pihak-pihak yang memusuhi keberadaan mereka di daerah penugasan. Karena
sesungguhnya penugasan mereka juga didasari oleh niat untuk memperoleh simpati
masyarakat Indonesia, meluruskan pemikiran yang keliru dan tidak sesuai dengan
konstitusi NKRI, serta menciptakan perdamaian di kawasan tanah air.
Meskipun demikian,
tidaklah mungkin bagi setiap orang (siapa saja) untuk membiarkan dirinya
ditembaki atau dilukai bahkan hingga menjadi korban (luka/mati) oleh siapapun
itu orangnya. Tentu saja setiap orang akan berusaha menyelamatkan diri, memilih
untuk bersikap menjaga keselamatan diri dan orang lain (selain musuh).
Berdasarkan/memedomani asas-asas hukum sebagaimana penulis jelaskan di atas
maka dalam prakteknya, kita dapat membagi pedoman urgensitas tindakan Prajurit
TNI di daerah operasi/penugasan terhadap orang/pihak yang melakukan
tindakan-tindakan permusuhan menjadi dua bagian inti/pokok sebagai berikut:
1.
Ketika ada serangan.
Serangan itu dapat berupa serangan dengan
menggunakan senjata api ataupun senjata tajam. Jika serangan itu berupa
tembakan senjata api dari seseorang atau pihak-pihak yang tidak memiliki
legalitas untuk menggunakan senjata api, maka Prajurit TNI dapat meniadakan serangan tersebut dengan
cara membalas tembakan. Bukan dengan niat untuk membunuh melainkan untuk
melumpuhkan supaya pihak-pihak yang menyerang tersebut tidak bisa lagi
melakukan serangan (berupa tembakan senjata api).
Dengan dilakukannya
balasan tembakan oleh Prajurit TNI bukan berarti atau jangan langsung diartikan
bahwa prajurit tersebut berniat membunuh atau menginginkan si penyerang
meninggal dunia. Karena melakukan balasan tembakan belum tentu mengakibatkan
yang ditembak mati.
Dan juga ketika Prajurit TNI membalas tembakan
jangan selalu diharapkan bahwa perkenaan dari tembakan itu haruslah hanya kaki,
atau hanya tangan, melainkan bisa bagian mana saja karena perihal membalas
tembakan tentunya cenderung dilakukan dalam waktu yang seketika dan secepat
mungkin sedemikian rupa dengan harapan pihak yang menyerang berhenti melakukan
serangan serta menyerah dan juga dengan maksud agar Prajurit TNI yang diserang
tidak mengalami/menjadi korban luka ataupun meninggal dunia.
Jika serangan itu
berupa sabetan senjata tajam yang diarahkan kepada seorang Prajurit TNI maka
sabetan tersebut perlu segera dihindari (jika masih bisa) atau segera melakukan
tindakan lain yang dapat dibenarkan menurut hukum dengan cara menembak kaki atau
tangannya sedemikian rupa agar si penyerang tidak bisa lagi melakukan
usaha/gerakan sabetan atau bacokan yang dapat membahayakan Prajurit TNI
tersebut. Untuk mengantisipasi keadaan yang dapat membahayakan seperti ini maka
perlu senantiasa menjaga jarak aman terhadap pihak-pihak yang membawa senjata
tajam dan tidak mau kooperatif. Khusus untuk pembahasan pada paragrap ini,
lakukan tindakan-tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum seperti
melakukan peringatan-peringatan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan
melumpuhkan (bukan mematikan), dan itupun dilakukan jika masih memungkinkan.
Setiap
orang berhak untuk menjaga dan mempertahankan keselamatan dirinya sendiri
demikian juga seorang Prajurit TNI, yang penting dilakukan dengan cara-cara
yang benar sesuai kaidah hukum yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu mari luruskan niat dan samakan persepsi.
2.
Ketika ada ancaman
serangan.
Ketika ada pihak lain yang membawa senjata api
ilegal tanpa maksud yang dapat dipertanggungjawabkan yang berada di hadapan
atau di sekitar Prajurit TNI maka mereka akan dianggap sebagai suatu keadaan
yang dapat mengancam keselamatan Prajurit TNI. Sehingga ketika pihak-pihak yang
membawa senjata tersebut sudah nyata-nyata dapat dikenali maka Prajurit TNI
dapat segera mempertimbangkan tindakan apa yang harus segera dilakukan dalam
rangka meniadakan ancaman serangan.
Jika yang dibawa oleh pihak lain (yang
memusuhi TNI) itu adalah senjata api maka dikategorikan sebagai ancaman
serangan jika sudah berada di dalam jarak tembak efektif senjata api yang
dimaksud (jarak bisa mencapai ratusan meter). Sedangkan jika yang dibawanya
adalah senjata tajam maka dikategorikan sebagai suatu ancaman serangan apabila
berada pada jarak tertentu (lebih dekat, hanya beberapa meter) yang dapat
membahayakan keselamatan seorang Prajurit TNI.
Setiap orang berhak
untuk menjaga dan mempertahankan keselamatan dirinya sendiri demikian juga
seorang Prajurit TNI, yang penting dilakukan dengan cara-cara yang benar sesuai
kaidah hukum yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu sekali lagi mari luruskan niat dan samakan persepsi.
B. MELURUSKAN
NIAT.
Mungkin sebagian
orang berpikir bahwa tentara/militer dalam hal ini Prajurit TNI ditugaskan untuk membunuh musuh. Jika masih
ada yang berpikir demikian, sesungguhnya dari situlah sumber bencana, karena
masih berkembang pemikiran yang keliru. Berusaha meluruskan niat agar selama
Satgas melaksanakan penugasan tidak menimbulkan permasalahan hukum, tugas
lancar, sukses, dan aman dapat berkumpul kembali dengan keluarga di rumah,
bukan pada saat membesuk di sel/penjara.
Sebelum suatu
kesatuan militer melaksanakan tugas operasi, seyogyanya para Komandan Satuan
memastikan terlebih dahulu bahwa anggotanya mengerti tentang tugas apa yang
akan mereka kerjakan selama di daerah penugasan. Jangan sekali-kali memberikan
perintah yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan perintah yang sebenarnya.
Mengapa demikian?
Karena jika seorang Atasan/Pimpinan memberikan
perintah kepada Bawahan bertentangan dengan perintah sebenarnya maka bawahan
yang melaksanakan perintah itu akan mengalami kesulitan untuk menjadikan
perintah Atasannya itu sebagai dasar pelaksanaan tugasnya, dan jika keadaan
menjadi tidak menguntungkan maka Atasan tersebut dapat saja mengelak bahwa ia
telah memberikan perintah lain yang dapat menjerumuskan Bawahannya sehingga
mengalami proses hukum.
Sangat perlu
dihindari, bahwa seorang Atasan sekali-kali tidak boleh menanamkan pemahaman
kepada para anggota kesatuannya bahwa mereka akan melaksanakan penugasan itu
adalah untuk membunuh musuh atau pihak yang dianggap musuh. Hal ini akan
berpengaruh pada cara bertindak atau cara menangani konflik pada saat di
lapangan (medan operasi).
Berikut ini
beberapa kemungkinan kerawanan bila menanamkan pengertian atas tujuan yang
keliru:
1.
Tingkat kejenuhan dan stress yang tinggi dapat
membuat Prajurit TNI menjadi kurang terkendali ketika berhadapan dengan
kelompok-kelompok perusuh ataupun separatis bersenjata. Akibatnya dapat
menimbulkan kecenderungan perlakuan terhadap orang-orang yang tidak bersenjata
disamakan dengan yang betul-betul bersenjata karena adanya trauma dan pemikiran
bahwa mereka harus dibunuh.
2.
Prosedur pelibatan dalam konflik bersenjata
cenderung diabaikan bila perintah yang salah itu yang lebih diprioritaskan oleh
anggota militer.
3.
Ketika terjadi permasalahan hukum anggota
militer tidak bisa menjawab dengan baik dan benar atas pertanyaan-pertanyaan
dari penyidik Polisi Militer dikarenakan tidak memahami maksud dan tujuan
pelaksanaan tugas yang sebenarnya dari Satgas.
Oleh karenanya sekali lagi jangan sekali-kali
berpikir bahwa ketika Satgas diberangkatkan penugasan adalah untuk membunuh
musuh atau pihak-pihak yang dianggap musuh karena hal ini akan salah di mata
hukum.
Mengapa demikian? Mari kita perhatikan
penjelasan berikut ini.
Ada 2 (dua) ketentuan pokok dari perbuatan
pidana yang dirumuskan yang berkaitan dengan tindakan pembunuhan.
1.
Pertama. Sesuai ketentuan Pasal 338 KUHP: “Barang siapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Ini adalah dasar untuk menjatuhkan hukuman
kepada pelakunya, terdapat beberapa unsur.
Syarat-syarat
terpenuhinya adalah sebagai berikut:
a.
Pelaku adalah orang yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum;
b.
Ada kesengajaan supaya korban meninggal dunia;
c.
Korban benar-benar meninggal dunia karena
perbuatan pelakunya bukan karena sebab lain.
Bayangkan, jika seorang Prajurit TNI
diperintahkan untuk membunuh maka sama saja Atasan yang memberikan perintah
adalah seorang pembunuh.
Perhatikan ketentuan berikut ini:
Pasal 55 ayat (1) ke-1: ”Dipidana sebagai pelaku tindak
pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan tindak pidana itu.”
2.
Kedua. Sesuai ketentuan Pasal 340
KUHP: ”Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.”
Demikian juga jika dikaitkan dengan ketentuan
pasal tersebut di atas. Ini juga merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman
kepada pelakunya, terdapat beberapa unsur.
Syarat-syarat
terpenuhinya adalah sebagai berikut:
a.
Pelaku adalah orang yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum;
b.
Ada kesengajaan supaya korban meninggal dunia;
c.
Ada perencanaan terlebih dahulu supaya
tujuannya berhasil;
d.
Korban benar-benar meninggal dunia karena
perbuatan pelakunya bukan karena sebab lain.
Bayangkan!
Jika seorang
Prajurit TNI dilatihkan secara rutin supaya mahir menembak dengan menggunakan
senjata api, maka kegiatan ini termasuk dalam kategori perencanaan. Kemudian
hal ini tergantung pada apa tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.
Jika hal tersebut ditujukan sebagai sarana
pelatihan pembelaan diri maka itu adalah suatu kelaziman. Contoh
berlatih Karate, Pencak Silat, Kungfu, atau apapun namanya merupakan sarana
berlatih/pembinaan fisik dan pembelaan diri, namun jika diniatkan untuk
memudahkan dalam melakukan penganiayaan terhadap orang lain tentunya hal ini
adalah suatu kesesatan yang nyata.
Demikian pula halnya jika Prajurit TNI
didoktrin untuk sengaja membunuh musuh-musuhnya maka semua rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh Prajurit TNI adalah perbuatan pembunuhan berencana.
Hal itu adalah fatal!
Seorang Atasan tidak boleh memberikan doktrin
atau arahan yang keliru kepada anak buahnya.
Lalu bagaimana supaya apa yang dikerjakan oleh
Prajurit TNI benar-benar perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan di mata
hukum?
Perhatikan salah satu doktrin di lingkungan
TNI berikut ini:
”Cari, dekati, hancurkan!”
Doktrin ini memang dimaksudkan supaya setiap Prajurit
TNI terjaga morilnya, tetap bersemangat. Diharapkan bisa menimbulkan kebanggaan
secara perorangan maupun Satuan.
Meskipun demikian tetap saja perlu dijelaskan
maksud dan tujuannya. Jangan biarkan anggota menafsirkan sendiri makna dari
doktrin tersebut. Para unsur pimpinan diharapkan dapat membimbing dan
mengarahkan ke jalan yang lebih baik.
Lakukan pencegahan agar anggota militer tidak
mengartikan kata ”hancurkan” menjadi hancurkan musuh (orangnya). Sampaikan
bahwa yang dimaksud adalah bukan demikian.
Makna yang lebih baik dari kata ”hancurkan”
adalah sebagai berikut:
- hancurkan kekuatannya;
- hancurkan persenjataannya;
- hancurkan bekal logistik lainnya;
dan yang paling penting adalah
- hancurkan kemauannya untuk bersikap memusuhi
atau melakukan perlawanan.
Berikut ini penekanan kembali beberapa hal yang diharapkan dapat
meminimalisir Prajurit TNI bermasalah dalam penugasan:
1.
Niatkan setiap kegiatan apalagi penugasan di
daerah operasi sebagai sarana ibadah.
2.
Adakan pendekatan yang humanis untuk
memperbaiki keadaan yang selama ini dianggap telah kacau/rawan dengan tetap
memperhatikan faktor keamanan/keselamatan personel.
3.
Lakukan kegiatan-kegiatan pengamanan dan
pembersihan dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
4.
Ingatlah bahwa pada dasarnya seseorang tidak
boleh memiliki niat untuk membunuh manusia selain berdasarkan
kewenangan yang ditentukan menurut hukum, maka berlatihlah untuk meluruskan niat.
5.
Senantiasa meminta taufik dan hidayah dari
Tuhan Yang Maha Kuasa agar senantiasa dibimbing di jalan yang lurus.
6.
Senantiasa meminta ampunan atas segala yang
kita kerjakan baik itu salah maupun benar menurut kita.
7.
Tanamkan bahwa sejatinya jiwa seorang Prajurit
TNI itu TIDAK KERAS DAN SADIS
melainkan LEMBUT TETAPI TEGAS.
C. SARAN.
Semua hal di atas perlu didukung oleh beberapa
hal sebagai berikut:
1.
Perlu pemahaman secara serentak, komitmen, dan
konsisten dari berbakai stake holder;
2.
Jika TNI memang berorientasi pada kepentingan
militer maka perlu tetap berada dalam bingkai kepentingan bangsa dan negara
yang sejati;
3.
Perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh
dan berkelanjutan.
”Sayangilah sesama manusia karena sejatinya kesejahteraan itu bersumber dari kasih sayang.”
Komentar