بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusihidup, alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali pada kesempatan diskusi hari ini. Kali ini kita akan membahas diskusi hidup tentang ngomel merupakan teknik pengalihan emosi? Jadi beginilah diskusi hidup kita kali ini.
Bagi pemikiran kebanyakan orang, mengomel atau mengumpat merupakan sikap yang jelek. Bagaimana tidak? Sikap seperti ini cenderung dapat membuat orang lain yang mendengarnya menjadi tersinggun atau sakit hati, bahkan bisa menimbulkan respon balik terhadap orang yang menyerang dengan omelan atau umpatan tadi. Respon tersebut dapat berupa lisan juga (omelan atau umpat balik) atau bahkan berupa tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang merupakan bentuk kekesalan yang memuncak dari responden.
Jika kita tinjau dari sisi psikologi, sikap mengomel atau mengumpat ini merupakan pancaran keadaan jiwa seseorang pada saat itu, sebagai bentuk respon terhadap stimulasi yang terbentuk di lingkungan sekitar orang itu berada. Sesuai dengan definisi psikologi, yaitu ilmu yang mempelajari manifestasi dan ekspresi jiwa/mental yang berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya.
Menurut pandangan behavioristic, perilaku pada individu adalah akibat dari stimulus ekternal. Perilaku sebagai respon terhadap stimulus akan ditentukan oleh keadaan stimulusnya, dan individu seakan-akan tidak memiliki kemampuan untuk menentukan responnya. Hubungan stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanistis.
Jika kita berpikir bahwa mengomel atau mengumpat itu dapat dialihkan menjadi sesuatu yang positif, maka kita harus melihat dalam kondisi yang bagaimana dan diterapkan kepada siapa sikap seperti itu.
Seorang istri misalnya, mengomel kepada suami atau bahkan sebaliknya, bisa merupakan hal yang masih baik jika kedua belah pihak sama-sama menyadari kekurangan masing-masing atau sama-sama menyadari bahwa diantara mereka masih terikat dengan rasa kasih sayang, sehingga keduanya akan berusaha memaklumi bahwa sikap mengomel atau mengumpat dari pasangannya hanyalah teknik untuk mengalihkan emosi agar tidak menjadi sesuatu yang mengganjal di hati masing-masing yang justru malah jika tidak dikeluarkan akan menjadi penyebab menambah tingkat stress atau tekanan batin.
Terutama bagi seorang istri, bebannya di rumah cenderung lebih besar daripada sang suami yang bekerja di luar lingkungan rumah yang cenderung bisa mencari variasi dalam menghibur dirinya untuk mengeliminir tingkat stress. Sementara sang istri terutama yang bekerja sebagai wanita karier akan lebih mendapatkan tingkat stress lebih tinggi karena beban tanggung jawabnya bukan hanya terhadap tugas-tugas di tempat dia bekerja juga beban tanggung jawab sebagai seorang ibu yang cenderung dianggap harus lebih memperhatikan anak-anaknya, karena seorang ibu cenderung akan lebih dekat dengan anak-anaknya. Jika tidak saling pengertian dan memaklumi keadaan masing-masing tentu bisa menimbulkan tindakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga (KDRT).
Demikian juga halnya dalam lingkungan pertemanan. Terkadang teman yang sudah akrab dan saling mengerti tentang kepribadian masing-masing, tentunya tidak akan merasa tersinggung ketika salah satu di antara mereka mengomel satu kepada yang lainnya. Hal demikian menjadi lumrah jika di antara mereka sudah memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama manusia. Sehingga tidak akan terjadi pertengkaran di antara pertemanan atau kelompok persahabatan.
Hal seperti di atas masih merupakan lingkup kecil, lingkup keluarga dan pertemanan. Tentunya hal seperti itu tidak bisa semerta-merta diterapkan pada lingkungan yang lain, karena butuh penyesuaian yang lebih jauh lagi. Terutama dalam lingkungan yang formal atau resmi, akan sangat sulit diterapkan karena terdapat perbedaan-perbedaan yang saling berkontradiksi dengan kepentingan tiap-tiap orang yang harus dihargai satu sama lain.
Contohnya: di lingkungan perkantoran atau kedinasan yang notabene terdapat tingkat kepangkatan atau jabatan yang berbeda dalam suatu organisasi, membutuhkan sikap yang lebih saling menghargai satu sama lain. Di sini etika lebih diprioritaskan daripada keinginan untuk saling mengerti dan memaklumi keadaan orang-perorang. Kepentingan atau rasa nyaman seseorang harus menyesuaikan dengan etika yang berkembang atau hidup di dalam lingkungan yang seperti ini.
Menurut pandangan kognitif, perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri individu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya. Artinya individu aktif dalam menentukan tindakannya. Hubungan stimulus dengan respon tidak berlangsung otomatis.
Terkadang suatu omelan atau umpatan memang akan terasa seperti cabe, namun yang ini akan terasa lebih pedas meskipun tidak berbentuk. Oleh karenanya omelan atau umpatan tidak bisa diterapkan pada setiap lingkungan, hanya bisa diterapkan di lingkungan yang saling mengerti dan memaklumi diri masing-masing. Kuncinya adalah saling menyayangi, maka tidak akan ada yang tersinggung, karena yang diomelkan itu bisa jadi sebagai luapan semata supaya tidak stress bukan sebagai ujaran kebencian terhadap seseorang atau kelompok.
Namun sikap mengomel atau mengumpat ini tidak boleh juga diungkapkan secara terbuka melalui media sosial yang dapat dilihat, didengar, atau ditonton oleh orang umum, karena tiap-tiap orang yang mendengar atau menonton akan memiliki respon yang bermacam-macam sesuai dengan penafsiran dan keadaan lingkungan masing-masing.
Sebaiknya perilaku dibentuk dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan.
Sahabat Diskusi Hidup yang berbahagia,
Demikian diskusi hidup kita kali ini, mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan.
Benar karena Allāh, salah karena penulis sendiri.
Semoga bermanfaat.
Terima kasih, 🙏
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابُ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Komentar