بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup, sebagai umat beragama sudah seyogyanya dalam hidup ini kita semua mencari ridha Allāh SWT dan mengharapkan kelak berada di dekat-Nya, yaitu Syurga. Hal yang harus kita yakini pertama kali adalah tentang keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dalam diskusi hidup kita kali ini akan kita bahas diskusi hidup tentang bagaimana implementasi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis mohon maaf sebelumnya tulisan ini dilatarbelakangi oleh situasi musim kampanye dan pilkada 2020. Iklim politik yang lima tahunan sekali itu kerap kali membuat situasi politik menjadi gerah atau bahkan bisa memanas. Hal ini juga disebabkan oleh adanya pandemi Covid 19. Penulis mencuplik keadaan ini hanya sebagai refleksi berpikir karena penulis melihat tema-tema lama yang sensitive dalam kehidupan berbangsa seperti isu nasionalis dan keagamaan demi “kepentingan aktor laga” pemilu tertentu ditafsirkan secara unkontekstual bahkan ahistoris (tanpa melihat referensi moral dalam sejarah lahirnya Pancasila di Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Pada momen-momen yang lain juga terkadang nasionalis dan agama seakan dibuat selalu gamang. Antara mereka yang mengklaim “kebenaran” itu saling menjatuhkan satu sama lain hanya karena berebut pendukung dan pengaruh. Jika rasa gamang ini dibiarkan, ini berpotensi kepada disharmonisasi hubungan antara sesama anak bangsa tentunya, bahkan kita jadi berfikir stag dan berakibat lupa jati diri bangsa sesungguhnya. Oleh karena itu demi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai.
Penulis mengajak, mari kita renungkan kembali nilai-nilai falsafah bangsa kita khususnya sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seorang muslim Indonesia akan menemukan suatu hal yang disebut pengamalan keberagaman secara wasathiyah (moderasi/moderat) dalam kemajemukan kehidupan di Indonesia. Meskipun umat muslim mengartikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai Zat yang tidak tertandingi, tidak ada bandingannya, bersifat mutlak, bahwa Dia lah sumber otoritas yang serba mutlak, namun umat muslim menghargai perbedaan umat lainnya. Sesuai Firman Allāh SWT dalam Al-Qurān, QS. Al-Kāfirūn: 1-6, yang artinya:
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir; aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah; dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah; untukmu agamamu dan untukku lah agamaku’.”
Inilah yang dinamakan moderasi keagamaan atau kehidupan beragama. Moderasi bukan agama Islamnya melainkan cara mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan di masyarakat dengan jalan saling menghargai.
Dalam pandangan Islam makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki beberapa konsekuensi etis bagi manusia Indonesia:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang oleh para “the founding fathers”, rakyat Indonesia (khusus muslim) diharapkan memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allāh SWT. Dari keimanan tersebut akan melahirkan kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allāh SWT dan menuju Allāh SWT. Sehingga dalam perkara ibadah, beribadah dengan tulus kepada Allāh SWT semata dan tidak boleh memutlakkan makhluk (syirik/musyrik).
2. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kondisi kesadaran rabbaniyah (semangat ketuhanan) yaitu inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasūlullāh yang pernah diturunkan di bumi, sehingga sempurna ilmu dan ketakwaannya kepada Allāh SWT. Sesuai Firman Allāh dalam Al-Qurān, QS. Ali ‘Imran: 79, yang artinya:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allāh berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allāh’. Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
3. Kemahaesaan Allāh dan kemutlakan-Nya mengandung makna bahwa wujud yang pasti itu hanya Allāh SWT. Sementara manusia dan seluruh makhluk berada dalam keadaan yang relatif. Sesuai Firman Allāh SWT dalam Al-Qurān, QS. At-Tīn: 4-6, yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tidak ada putus-putusnya.”
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Firman Allāh QS. 95:5 mengandung arti ke tingkat pikun (seperti bayi lagi). Oleh karena itu Rasūlullāh ﷺ ditanya tentang (kedudukan) orang yang telah pikun itu. Maka Allāh menurunkan ayat selanjutnya (QS. 95:6) bahwa mereka yang beriman dan beramal saleh sebelum pikun akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Al-‘Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Maka sikap memutlakkan nilai manusia, baik yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri ataupun terhadap orang lain, adalah bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
4. Sikap kepasrahan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pemahaman kesamaan manusia. Bahwa seluruh umat manusia dari segi harkat dan martabatnya adalah sama, sehingga kita tidak boleh merendahkan bahkan menguasai harkat dan martabat orang lain. Rasūlullāh ﷺ dan utusan Allāh yang lainnya tidak pernah melakukan pemaksaan, mereka hanya menyampaikan kebenaran dan menyampaikan peringatan kepada seluruh umat manusia.
Sahabat Diskusi Hidup rahimakumullah,
Manusia memiliki kebebasan yang bermoral, berhak atas segala perbuatan yang dipilihnya dengan sadar, baik yang saleh ataupun yang jahat. Allāh tetap memberi kebebasan kepada umat manusia untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya dengan resiko masing-masing. Dan Allāh SWT juga berhak untuk menentukan siapa-siapa yang mendapatkan balasan di Sisi-Nya.
Demikian diskusi hidup kita kali ini, mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan.
Benar karena Allāh, salah karena penulis sendiri.
Semoga bermanfaat.
Terima kasih, 🙏
Komentar