MENGAPA BARANG BUKTI TIDAK DIMASUKKAN SEBAGAI PERIHAL YANG TERMASUK ALAT BUKTI YANG SAH MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA?
بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup,
alhamdulillāh pada kesempatan kali ini kita berjumpa lagi. Penulis akan
membahas diskusi hidup tentang mengapa barang bukti tidak dimasukkan sebagai
perihal yang termasuk alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana. Untuk lebih jelasnya kita mulai saja diskusi kita sebagai berikut.
Kenapa barang
bukti tidak tercantum dalam rincian jenis alat bukti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)? Karena barang bukti itu bisa ada dan merupakan wujud dari
tiap-tiap alat bukti sesuai yang tercantum dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai alat-alat bukti yang sah dalam proses
peradilan. Barang bukti bisa merupakan wujud dari keterangan saksi, atau itu
juga bisa merupakan wujud dari keterangan ahli, atau bisa juga berwujud surat, atau
bisa juga sebagai perwujudan dari petunjuk, atau bahkan bisa juga merupakan
wujud dari keterangan terdakwa. Oleh karena barang bukti itu dapat tercakup
dalam tiap-tiap alat bukti maka tidak bisa dipisahkan sebagai sesuatu yang
terpisah dari semua alat bukti tadi. Meskipun demikian terkadang pada tiap-tiap
alat bukti tidak selamanya terdapat wujud barang bukti. Misalnya, keterangan
saksi mungkin saja hanya sebagai penyampaian lisan tanpa didukung dengan barang
bukti berupa rekaman video atau rekaman suara pada saat kejadian. Demikian juga
terhadap alat-alat bukti yang lain. Khusus untuk keterangan ahli, bisa saja
selain penyampaian lisan juga dilengkapi dengan barang bukti berupa rekaman
video kegiatan autopsi/bedah dan lain-lain yang bisa saja kemudian diganti
dengan alat bukti berupa surat.
Barang
bukti di dalam suatu perkara pada dasarnya harus ada, namun hal ini tergantung
dari perkaranya, dan kecuali untuk perkara tertentu yang tidak memerlukan
barang bukti maka barang bukti itu diganti dengan keadaan yang nampak oleh
penglihatan mata manusia. Contoh, jika ada orang yang terlukai oleh benda
tajam, tentu harus dicari tahu barang bukti apa yang bisa mengakibatkan lukanya
orang tersebut. Jika barang buktinya tidak ada tentu akan sulit membuktikannya.
Namun bukti berupa barang ini tidak semata-mata sebagai penentu karena alat
bukti tidak selalu ditentukan dengan adanya barang. Misalnya keterangan saksi
mengatakan bahwa seseorang ditusuk dengan menggunakan pisau, tapi kalau
pisaunya tidak ada, masih perlu dipertanyakan. Oleh karenanya nanti akan
berangkai, ada pertanyaan ditusuknya dimana, kemudian ukurannya berapa. Kalau
ternyata hanya pisau-pisauan yang dibawa oleh tersangka/terdakwa, tentu hal ini
tidak bisa dibuktikan bahwa yang seperti itu bisa mengakibatkan korban terbunuh.
Bisa saja yang menusuk akhirnya bukan yang bersangkutan melainkan orang lain
lagi yang memanfaatkan situasi. Dengan demikian menurut penulis barang bukti
itu tidak dipisahkan sebagai salah satu alat bukti tersendiri karena barang bukti
itu bisa saja menjiwai dari tiap-tiap alat bukti sah yang sudah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan, yaitu khususnya dalam Pasal 184 KUHAP.
Sahabat Diskusi Hidup yang
senantiasa diberi kesehatan,
Berdasarkan
yang sudah disampaikan di atas, bisa saja Sahabat berpendapat lain. Kebenaran
manusia itu relatif, tergantung situasi dan keadaan yang berlangsung. Kebenaran
yang mutlak datangnya hanya dari Allāh SWT.
Mohon maaf jika ada kesalahan,
kebenaran hanya milik Allāh SWT.
Semoga bermanfaat, terima kasih banyak atas perhatiannya.
Komentar