APAKAH PERBUATAN BUNUH DIRI MERUPAKAN SUATU HAL YANG MELANGGAR HUKUM POSITIF DI INDONESIA ATAU BUKAN?
بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup,
alhamdulillāh pada kesempatan kali ini kita dapat berjumpa lagi untuk membahas diskusi hidup tentang apakah perbuatan bunuh diri merupakan suatu hal yang melanggar hukum positif
di Indonesia atau bukan. Berikut ini adalah diskusi hidup kita kali ini.
Pada umumnya setiap orang akan menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah perbuatan yang melanggar hukum karena dinilai sebagai perbuatan yang tercela, menghabisi atau menghilangnya nyawa manusia meskipun itu terhadap dirinya sendiri. Namun sebagian orang masih banyak yang menganggap bahwa tindakan bunuh diri itu tercela namun tidak melanggar hukum positif di Indonesia dengan alasan tidak diatur di dalam buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau peraturan perundang-undangan lainnya. Yang diatur di dalam pasal KUHP adalah mengenai suruhan atau dorongan untuk melakukan tindakan bunuh diri tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 345 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk
bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau
memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Untuk sebagian lagi,
ada juga yang berpendapat bahwa tindakan bunuh diri adalah melanggar ketentuan hukum
agama dan hukum positif di Indonesia namun mengalami kesulitan dalam
menunjukkan dalil-dalilnya, terutama berdasarkan hukum positif di Indonesia.
Menurut
logikanya, menyuruh atau mendorong atau lainnya yang mengakibatkan orang lain bunuh
diri saja diancam dengan pidana apalagi yang melakukan bunuh dirinya. Sehingga tidak
mungkin jika tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Masih banyak
yang belum jeli melihat hal yang demikian itu.
Penulis
mengajak para Sahabat Diskusi Hidup untuk meninjau ketentuan yang diatur dalam
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagai berikut:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
tindak pidana itu”.
Coba kita perhatikan kata-kata yang
diberi tanda warna hijau di atas. Siapapun yang melakukan dan yang menyuruh
melakukan, dianggap sebagai suatu kesalahan yang sama sehingga diancam dengan
pidana yang sama.
Sekarang kita
perhatikan lagi ketentuan Pasal 345 KUHP terutama yang diberi tanda warna hijau
di atas. Jika kita kaitkan ketentuan Pasal 345 KUHP dengan Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP, maka ketentuan-ketentuan tersebut menentukan suatu ketentuan yang
langsung berkaitan dengan tindakan yang diatur dalam Pasal 345 KUHP itu sendiri
yaitu mengenai tindakan “bunuh diri”. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan bunuh
diri dan tindakan mendorong orang lain bunuh diri memiliki tingkat kesalahan
yang sama. Dengan demikian tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang dilarang
oleh hukum.
Apa yang
memungkinkan tentang tindakan bunuh diri tidak diatur secara limitatif atau secara tegas di dalam KUHP? Pertimbangan
yang paling mungkin adalah dikarenakan orang bunuh diri tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakan tercelanya tersebut dikarenakan yang
bersangkutan sudah meninggal dunia. Yang ditiadakan hanyalah hak jaksa atau Oditur
Militer dalam melaksanakan pentuntutan terhadap perkara tersebut. Hal ini di
dalam peraturan perundangan-undangan termasuk dalam salah satu hal yang meniadakan
penuntutan pidananya, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 KUHP,
sebagai berikut:
“Kewenangan
menuntut pidana hapus, bila si tertuduh meninggal dunia.”
Meskipun demikian, hal ini tidak
menghilangkan kebersalahan atau unsur kesalahan dan bersifat melawan hukumnya
dari tindakan tersebut, sehingga perbuatan bunuh diri tetap saja merupakan
perbuatan yang melanggar hukum baik hukum agama maupun hukum positif di Indonesia.
Dan perbuatan tersebut tetap akan berdampak terhadap perbuatan hukum yang
lainnya.
Contoh:
Jika seseorang memiliki hutang di suatu
bank (debitur), yang mana pinjaman tersebut biasanya dilindungi oleh jasa
asuransi yang biasanya kalau debitur meninggal dunia tentu pinjamannya akan
dianggap lunas karena dibayarkan oleh pihak asuransi tersebut. Sedangkan jika
debitur meninggal dunia karena bunuh diri, maka pihak asuransi tidak akan mau membayarkan
jaminan asuransinya (klaim) untuk melunasi pinjaman dengan keadaan seperti itu.
Dengan demikian debitur yang bunuh diri tersebut akan tetap dianggap memiliki
hutang di bank yang bersangkutan. Oleh karena itu hutang atau pinjaman terhadap
bank tersebut masih menjadi tanggungan debitur dan para ahli warisnya.
Demikian juga dengan hal lain yang
berkaitan. Meninggalnya seseorang karena bunuh diri tidak semerta-merta memutuskan
perbuatan hukum lain yang masih berlangsung yang ditinggalkannya.
Semoga kita senantiasa dilindungi
oleh Allāh SWT dan tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi, āmīn Yā
Rabbal’ālamīn.
Sahabat Diskusi Hidup yang
berbahagia,
Demikianlah pertimbangan yang
paling mungkin kenapa mengenai ketentuan bunuh diri sebagai tindak pidana atau
tindakan yang dilarang atau melanggar hukum, tidak diatur secara tegas di dalam
peraturan perundang-undangan.
Semoga diskusi hidup kita kali ini
bermanfaat bagi kita semua.
Mohon maaf bila ada hal-hal yang
tidak berkenan.
Kesalahan berarti pada penulis,
kebenaran hanya milik Allāh SWT.
Terima kasih banyak atas perhatiannya.
Komentar