Langsung ke konten utama

Featured Posts

AIR BERIAK TANDA TAK DALAM, TONG KOSONG NYARING BUNYINYA, TAHUKAH ANDA TERNYATA MAKNANYA TIDAK SEPERTI YANG SELAMA INI KITA KIRA, TERNYATA SELAMA BERTAHUN-TAHUN KITA SUDAH SALAH MENGGUNAKANNYA

        Para pembaca yang budiman. Selama ini kita semua mengetahui bahwa untuk menyamakan keadaan seseorang yang banyak bicara namun pengetahuannya dangkal adalah dengan menggunakan peribahasa "Air beriak tanda tak dalam", atau bagi yang dianggap tidak berpengetahuan "Tong kosong nyaring bunyinya". Demikian pula dengan penulis. Penulis pernah berpikir bahwa kalimat tersebut dapat diterapkan kepada setiap orang yang banyak bicara. Ketika anda berkata tentang air beriak tanda tak dalam, tong kosong nyaring bunyinya, tahukah anda ternyata maknanya tidak seperti yang selama ini kita kira, ternyata selama bertahun-tahun kita sudah salah menggunakannya.      Pada suatu kolam air kita mungkin akan menemukan riak-riak atau gelembung-gelembung air yang relatif kecil di atas permukaannya. Menurut hasil penelitian, riak-riak air tersebut banyak ditemukan pada suatu ekosistem air yang mana ketinggian permukaan airnya dari dasar tidak begitu tinggi atau air dalam kondisi tidak

SILAKAN DOWNLOAD AMPUH

SILAKAN DOWNLOAD AMPUH
Aplikasi Mobile Penyuluhan Hukum

KOMPILASI HUKUM ISLAM(PERKAWINAN)



(Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991

tentang Perintah Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam,

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991

tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991)

  

KETENTUAN UMUM

BAB I

BEBERAPA PENGERTIAN

 

Pasal 1

 

Yang dimaksud dengan:

 

a.         Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.

 

b.         Wali Hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

 

c.         Akad Nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.

 

d.         Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

 

e.         Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

 

f.          Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

 

g.         Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.

 

h.         Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

 

i.          Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.

 

j.          Mut'ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

  

BAB II

DASAR-DASAR PERKAWINAN

 

Pasal 2

 

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

 

Pasal 3

 

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

 

Pasal 4

 

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

Pasal 5

 

(1)       Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

 

(2)       Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 22 tahun 1946 jo Undang-Undang no 32 tahun 1954.

 

Pasal 6

 

(1)       Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

 

(2)       Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan hukum.

 

Pasal 7

 

(1)       Perkawian hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

 

(2)       Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama

 

(3)       Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

 

(a)          Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian Perceraian;

 

(b)          Hilangnya Akta Nikah;

 

(c)          Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

 

(d)          Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974; dan

 

(e)       Perkawinan yang dlakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

 

(4)       Yang berhak mengajukan permohonan Istbat nikah ialah pihak suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

 

Pasal 8

 

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk, atau putusan taklik-talak.

 

Pasal 9

 

(1)       Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak diketemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama

 

(2)       Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

 

Pasal 10

 

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai pencatat Nikah

  

BAB III

PEMINANGAN

 

Pasal 11

 

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan perantara yang dapat dipercaya.

 

Pasal 12

 

(1)       Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

 

(2)       Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj'i, haram dan dilarang untuk dipinang.

 

(3)       Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan itu belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

 

(4)       Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

 

Pasal 13

 

(1)       Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan

 

(2)       Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai

  

BAB IV

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

 Bagian Kesatu

Rukun

 

Pasal 14

 

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada;

 

a.         Calon suami;

b.         Calon Istri;

c.         Wali Nikah;

d.         Dua orang saksi; dan

e.         Ijab dan kabul.

  

Bagian Kedua

Calon Mempelai

 

Pasal 15

 

(1)       Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (Sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

 

(2)       Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

 

Pasal 16

 

(1)       Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

 

(2)       Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas.

 

Pasal 17

 

(1)       Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu pesetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

 

(2)       Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

 

(3)       Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

 

Pasal 18

 

Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.

  

Bagian Ketiga

Wali Nikah.

 

Pasal 19

 

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.

 

Pasal 20

 

(1)       Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.

 

(2)       Wali Nikah terdiri dari:

 

a.         wali nasab;

b.         wali hakim.

 

Pasal 21

 

(1)       Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susnan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama , kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

 

(2)       Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

 

(3)       Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

 

(4)       Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

 

Pasal 22

 

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syaratsebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak wali bergeser ke wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

 

Pasal 23

 

(1)       Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

 

(2)       Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

  

Bagian Keempat

Saksi Nikah.

 

Pasal 24

 

(1)       Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksaan akad nikah.

 

(2)       Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

 

Pasal 25

 

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.

 

Pasal 26

 

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

  

Bagian Kelima

Akad Nikah

 

Pasal 27

 

Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

 

Pasal 28

 

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.

 

Pasal 29

 

(1)       Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.

 

(2)       Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

 

(3)       Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

  

BAB V

MAHAR

 

Pasal 30

 

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah , bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

 

Pasal 31

 

Penentuan mahar dudasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

 

Pasal 32

 

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

 

Pasal 33

 

(1)       Penyerahan mahar dilakukan secara tunai.

 

(2)       Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

 

Pasal 34

 

(1)       Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.

 

(2)       Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

 

Pasal 35

 

(1)       Suami yang mentalak istrinya qabla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

 

(2)       Apabila suami meninggal dunia qabla al dukhul seluruh mahar ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.

 

(3)       Apabila perceraian terjadi qabla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

 

Pasal 36

 

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

 

Pasal 37

 

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama.

 

Pasal 38

 

(1)       Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.

 

(2)       Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat.Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

  

BAB VI

LARANGAN KAWIN

 

Pasal 39

 

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:

 

1.         Karena pertalian nasab:

 

a.         dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya;

 

b.         dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

 

c.         dengan seorang wanita saudara yang melahirkan.

 

2.         Karena pertalian kerabat semenda:

 

a.         dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;

 

b.         dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;

 

c.         dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul;

 

d.         dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

 

3.         Karena pertalian sesusuan:

 

a.         dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas;

 

b.         dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah;

 

c.         dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;

 

d.         dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas;

 

e.         dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

 

Pasal 40

 

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

 

a.         karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

 

b.         seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

 

c.         seorang wanita yang tidak beragama Islam.

 

Pasal 41

 

(1)       Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang memilki pertalian nasab atau susuan dengan istrinya:

 

a.         saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya;

 

b.         wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

 

(2)       Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i, tetapi masih dalam masa iddah.

 

Pasal 42

 

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunya 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat perkawinan atau masih dalam iddah talak raj'i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.

 

Pasal 43

 

(1)       Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:

 

a.         dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;

 

b.         dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li'an.

 

(2)       Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istrinya tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya

 

Pasal 44

 

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.

  

BAB VII

PERJANJIAN PERKAWINAN

 

Pasal 45

 

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

 

1.         Taklik talak; dan

 

2.         Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam

 

Pasal 46

 

(1)       Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

 

(2)       Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

 

(3)       Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

 

Pasal 47

 

(1)       Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disyahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

 

(2)       Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

 

(3)       Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

 

Pasal 48

 

(1)       Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

 

(2)       Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketetapan tersebut pada ayat (1) dianggap telah terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban menanggung biaya rumah tangga.

 

Pasal 49

 

(1)       Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

 

(2)       Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat pula diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

 

Pasal 50

 

(1)       Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihakdan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

 

(2)       Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.

 

(3)       Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat.

 

(4)       Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman itu tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pihak ketiga.

 

(5)       Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

 

Pasal 51

 

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajikannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

 

Pasal 52

 

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.

  

BAB VIII

KAWIN HAMIL

 

Pasal 53

 

(1)       Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

 

(2)       Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

 

(3)       Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

 

Pasal 54

 

(1)       Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah.

 

(2)       Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinan tidak sah.

  

BAB IX

BERISTRI LEBIH DARI SATU ORANG

 

Pasal 55

 

(1)       Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.

 

(2)       Syarat utama beristri lebih dari satu seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

 

Pasal 56

 

(1)       Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

 

(2)       Pengajuan permohonan izin dimaskud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

 

(3)       Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

 

Pasal 57

 

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

 

a.         istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

 

b.         istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

 

c.         istri tidak dapat melahirkan keturunan.

 

Pasal 58

 

(1)       Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:

 

a.         adanya persetujuan istri;

 

b.         adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

 

(2)       Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

 

(3)       Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

 

Pasal 59

 

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

  

BAB X

PENCEGAHAN PERKAWINAN

 

Pasal 60

 

(1)       Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

 

(2)       Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 61

 

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu ad dien.

 

Pasal 62

 

(1)       Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.

 

(2)       Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

 

Pasal 63

 

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

 

Pasal 64

 

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.

 

Pasal 65

 

(1)       Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.

 

(2)       Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

 

Pasal 66

 

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

 

Pasal 67

 

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.

 

Pasal 68

 

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 atau Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

 

Pasal 69

 

(1)       Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

 

(2)       Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

 

(3)       Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.

 

(4)       Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan supaya perkawinan dilangsungkan.

 

(5)       Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

  

BAB XI

BATALNYA PERKAWINAN

 

Pasal 70

 

Perkawinan batal apabila:

 

a.         suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu diantaranya itu dalam iddah talak raj'i.

 

b.         seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li'annya.

 

c.         seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

 

d.         perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:

 

1.         berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas;

 

2.         berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

 

3.         berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri;

 

4.         berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

 

e.         istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

 

Pasal 71

 

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

 

a.         seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;

 

b.         perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

 

c.         perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

 

d.         perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

 

e.         perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

 

f.          perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

 

Pasal 72

 

(1)       Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

 

(2)       Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

 

(3)       Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

 

Pasal 73

 

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:

 

a.         para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas;

 

b.         suami atau istri;

 

c.         pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang;

 

d.         para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

 

Pasal 74

 

(1)       Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.

 

(2)       Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

 

Pasal 75

 

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

 

a.         perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad;

 

b.         anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

 

c.         pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

 

Pasal 76

 

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

  

BAB XII

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

 Bagian Kesatu

Umum

 

Pasal 77

 

(1)       Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

 

(2)       Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lainnya.

 

(3)       Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

 

(4)       Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

 

(5)       Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

 

Pasal 78

 

(1)       Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

 

(2)       Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami istri bersama.

  

Bagian Kedua

Kedudukan Suami Istri

 

Pasal 79

 

(1)       Suami adalah kepala keluarga, dan istri adalah ibu rumah tangga.

 

(2)       Hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

 

(3)       Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

  

Bagian Ketiga

Kewajiban Suami

 

Pasal 80

 

(1)       Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.

 

(2)       Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

 

(3)       Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermamfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

 

(4)       Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

 

a.         nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

 

b.         biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; dan

 

c.         biaya pendidikan bagi anak.

 

(5)       Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.

 

(6)       Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

 

(7)       Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

  

Bagian Keempat

Tempat Kediaman

 

Pasal 81

 

(1)       Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.

 

(2)       Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan ayau dalam iddah talak atau iddah wafat.

 

(3)       Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

 

(4)       Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

  

Bagian Kelima

Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang

 

Pasal 82

 

(1)       Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluargayang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

 

(2)       Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

  

Bagian Keenam

Kewajiban istri

 

Pasal 83

 

(1)       Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.

 

(2)       Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

 

Pasal 84

 

(1)       Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.

 

(2)       Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya,

 

(3)       Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.

 

(4)       Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

  

BAB XIII

HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

 

Pasal 85

 

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkunan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.

 

Pasal 86

 

(1)       Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

 

(2)       Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

 

Pasal 87

 

(1)       Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masin sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

 

(2)       Suami dan istri mempunya hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

 

Pasal 88

 

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan agama.

 

Pasal 89

 

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.

 

Pasal 90

 

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.

 

Pasal 91

 

(1)       Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

 

(2)       Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

 

(3)       Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

 

(4)       Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

 

Pasal 92

 

Suami atau sitri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahtangankan harta bersama.

 

Pasal 93

 

(1)       Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.

 

(2)       Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

 

(3)       Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami.

 

(4)       Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan pada harta istri.

 

Pasal 94

 

(1)       Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memilki istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

 

(2)       Kepemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.

 

Pasal 95

 

(1)       Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2) (Kompilasi Hukum Islam), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.

 

(2)       Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

 

Pasal 96

 

(1)       Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

 

(2)       Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhnya sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

 

Pasal 97

 

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

  

BAB XIV

PEMELIHARAAN ANAK

 

Pasal 98

 

(1)       Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

 

(2)       Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

 

(3)       Pengadilan agama dapat menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

 

Pasal 99

 

Anak yang sah adalah:

 

a.         anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; dan

 

b.         hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

 

Pasal 100

 

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

 

Pasal 101

 

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li'an.

 

Pasal 102

 

(1)       Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

 

(2)       Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.

 

Pasal 103

 

(1)       Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

 

(2)       Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-buki yang sah.

 

(3)       Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

 

Pasal 104

 

(1)       Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

 

(2)       Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

 

Pasal 105

 

Dalam hal terjadi perceraian:

 

a.         pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

 

b.         pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

 

c.         biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

 

Pasal 106

 

(1)       Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

 

(2)       Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditumbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut ayat (1).

  

BAB XV

PERWALIAN

 

Pasal 107

 

(1)       Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

 

(2)       Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.

 

(3)       Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

 

(4)       Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

 

Pasal 108

 

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

 

Pasal 109

 

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali itu pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahkangunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

 

Pasal 110

 

(1)       Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.

 

(2)       Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarinya.

 

(3)       Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

 

(4)       Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.

 

Pasal 111

 

(1)       Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.

 

(2)       Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

 

Pasal 112

 

Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil maruf kalau wali itu fakir.

  

BAB XVI

PUTUSNYA PERKAWINAN

 Bagian Kesatu

Umum

 

Pasal 113

 

Perkawinan dapat putus karena:

 

a.         kematian;

b.         perceraian; dan

c.         atas putusan pengadilan

 

Pasal 114

 

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

 

Pasal 115

 

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan gama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

 

Pasal 116

 

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

 

a.         salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

 

b.         salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

 

c.         salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

 

d.         salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

 

e.         salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

 

f.          antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

 

g.         suami melanggar taklik-talak.

 

h.         peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

 

Pasal 117

 

Talak adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.

 

Pasal 118

 

Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

 

Pasal 119

 

(1)       Talak ba'in shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

 

(2)       Talak ba'in shugraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:

 

a.         talak yang terjadi qabla al dukhul;

 

b.         talak dengan tebusan atau khuluk;

 

c.         talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

 

Pasal 120

 

Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.

 

Pasal 121

 

Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak diampuri dalam waktu suci tersebut.

 

Pasal 122

 

Talak bid'i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

 

Pasal 123

 

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

 

Pasal 124

 

Khuluk dapat berdasarkan atas alasan perceraian sesuan ketentuan pasal 116.

 

Pasal 125

 

Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.

 

Pasal 126

 

Li'an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

 

Pasal 127

 

Tata cara li'an diatur sebagai berikut:

 

a.         suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta".

 

b.         istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata "tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar", diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar".

 

c.         tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

 

d.         apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap terjadi li'an.

 

Pasal 128

 

Li'an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama Bagian Kedua Tata Cara Perceraian.

 

Pasal 129

 

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

 

Pasal 130

 

Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.

 

Pasal 131

 

(1)       Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

 

(2)       Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

 

(3)       Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.

 

(4)       Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.

 

(5)       Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

 

Pasal 132

 

(1)       Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

 

(2)       Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

 

Pasal 133

 

(1)       Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

 

(2)       Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

 

Pasal 134

 

Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagu Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu.

 

Pasal 135

 

Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

 

Pasal 136

 

(1)       Selama berlangsungnya gugatan perceraian atau permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

 

(2)       Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:

 

a.         menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.

 

b.         menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

 

Pasal 137

 

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal dunia sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.

 

Pasal 138

 

(1)       Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.

 

(2)       Panggilan untuk menghadiri sidang sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.

 

(3)       Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang sederajat.

 

(4)       Panggilan sebagai tersebut dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.

 

(5)       Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

 

Pasal 139

 

(1)       Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

 

(2)       Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua

 

(3)       Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan,

 

(4)       Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak dan tidak beralasan.

 

Pasal 140

 

Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

 

Pasal 141

 

(1)       Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian

 

(2)       Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.

 

(3)       Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

 

Pasal 142

 

(1)       Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

 

(2)       Dalam hal suami istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

 

Pasal 143

 

(1)       Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

 

(2)       Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

 

Pasal 144

 

Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

 

Pasal 145

 

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

 

Pasal 146

 

(1)       Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.

 

(2)       Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

Pasal 147

 

(1)       Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat keputusan itu kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.

 

(2)       Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri untuk diadakan pencatatan.

 

(3)       Panitera Pengadilan Agama mengirimkan Surat Keterangan kepada masing-masing suami-istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.

 

(4)       Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.

 

(5)       Apabila Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri berbeda dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negri salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta.

 

(6)       Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.

 

Pasal 148

 

(1)       Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.

 

(2)       Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri atau suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

 

(3)       Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasihat-nasihatnya.

 

(4)       Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl/tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama.Terhadap penerapan itu tidak dalam dilakukan upaya banding dan kasasi.

 

(5)       Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5).

 

(6)       Dalam hal tidak mencapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.

  

BAB XVII

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

 Bagian Kesatu

Akibat Talak

 

Pasal 149

 

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

 

a.         memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul.

 

b.         memberi nafkah dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

 

c.         melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul.

 

d.         memberikan biaya hadhonah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

 

Pasal 150

 

Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.

 

Pasal 151

 

Bekas istri selama dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

 

Pasal 152

 

Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz.

  

Bagian Kedua

Waktu Tunggu

 

Pasal 153

 

(1)       Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah dari bekas suaminya, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

 

(2)       Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

 

a.         Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

 

b.         Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

 

c.         Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

 

d.         Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

 

(3)       Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul.

 

(4)       Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

 

(5)       Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid kerna menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.

 

(6)       Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

 

Pasal 154

 

Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

 

Pasal 155

 

Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li'an berlaku iddah talak.

  

Bagian Ketiga

Akibat Perceraian

 

Pasal 156

 

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

 

a.         anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

 

1.         wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

 

2.         ayah;

 

3.         wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

 

4.         saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

 

5.         wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

 

6.         wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

 

b.         anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

 

c.         apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

 

d.         semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun);

 

e.         bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) , dan (d).

 

f.          Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

 

Pasal 157

 

Harta yang dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96, 97.

  

Bagian Keempat

Mut'ah

 

Pasal 158

 

Mut'ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:

 

a.         belum ditetapkan mahar bagi istri ba'da al dukhul;

 

b.         perceraian itu atas kehendak suami.

 

Pasal 159

 

Mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.

 

Pasal 160

 

Besarnya mut'ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

  

Bagian Kelima

Akibat Khuluk

 

Pasal 161

 

Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.

 

 

Bagian Keenam

Akibat Li'an

 

Pasal 162

 

Bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

  

BAB XVIII

RUJUK

 Bagian Kesatu

Umum

 

Pasal 163

 

(1)       Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.

 

(2)       Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:

 

a.         putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali, atau talak yang dijatuhkan qabla al dukhul.

 

b.         putusnya perkawinan berdasar putusan Pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.

 

Pasal 164

 

Seorang wanita dalam iddah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.

 

Pasal 165

 

Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.

 

Pasal 166

 

Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebu hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

  

Bagian Kedua

Tata Cara Rujuk

 

Pasal 167

 

(1)       Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.

 

(2)       Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

 

(3)       Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj'i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.

 

(4)       Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.

 

(5)       Setelah rujuk itu dilaksanakan Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

 

Pasal 168

 

(1)       Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.

 

(2)       Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.

 

(3)       Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinannya dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

 

Pasal 169

 

(1)       Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

 

(2)       Suami istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk.

 

(3)       Catatan yang dimaksud ayat (2), berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

  

BAB XIX

MASA BERKABUNG

 

Pasal 170

 

(1)       Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

 

(2)       Suami yang ditinggal mati istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

APAKAH PERBUATAN BUNUH DIRI MERUPAKAN SUATU HAL YANG MELANGGAR HUKUM POSITIF DI INDONESIA ATAU BUKAN?

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ     Yth. Sahabat Diskusi Hidup , alhamdulillāh pada kesempatan kali ini kita dapat berjumpa lagi untuk membahas diskusi hidup tentang apakah perbuatan bunuh diri merupakan suatu hal yang melanggar hukum positif di Indonesia atau bukan. Berikut ini adalah diskusi hidup kita kali ini.         Pada umumnya setiap orang akan menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah perbuatan yang melanggar hukum karena dinilai sebagai perbuatan yang tercela, menghabisi atau menghilangnya nyawa manusia meskipun itu terhadap dirinya sendiri. Namun sebagian orang masih banyak yang menganggap bahwa tindakan bunuh diri itu tercela namun tidak melanggar hukum positif di Indonesia dengan alasan tidak diatur di dalam buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau peraturan perundang-undangan lainnya. Yang diatur di dalam pasal KUHP adalah mengenai suruhan atau dorongan untuk melakukan tindakan bunuh diri tersebut

TINDAK PIDANA KHUSUS DI LUAR KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ     Yth. Sahabat Diskusi Hidup, a lhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan yang berbeda. Kali ini penulis akan membahas diskusi hidup tentang tindak pidana khusus di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selanjutnya diskusi hidup kita adalah sebagai berikut.             Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan, apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.             Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap Hukum Pidana Umum, b

HATI-HATI DALAM HAL TURUT MENCICIL BARANG YANG KEMUDIAN DIGUNAKAN OLEH ORANG LAIN

بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ   Yth. Sahabat Diskusi Hidup,   alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan diskusi hari ini. Kali ini kita akan membahas diskusi hidup tentang hati-hati dalam hal turut mencicil barang yang kemudian digunakan oleh orang lain. Berikut ini adalah diskusi hidup kita kali ini. Ketika kita turut membantu seseorang atau bahkan orang tua kita dalam memenuhi cicilan kredit barang, maka apa yang kita niatkan harus jelas. Niat tersebut bisa ditekadkan di dalam hati atau diucapkan kepada orang yang kita bantu. Alangkah jauh lebih baik jika disampaikan juga kepada orang yang dibantu.   Mungkin suatu ketika ada saudara, teman, atau bahkan orang tua yang misalnya membeli motor atau mobil dengan cara mengangsur atau membayar dengan cara mencicil setiap bulan atau mungkin membayar beberapa kali dengan jangka waktu tertentu tidak selalu dilakukan setiap bulan, maka pada saat kita akan membantu me