BAGAIMANA ANALISIS TERHADAP PASAL 54-55 DAN PASAL 103 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA?
بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup,
alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam
kesempatan berikutnya. Kali ini penulis akan membahas diskusi hidup tentang bagaimana analisis terhadap Pasal 54-55 dan Pasal 103 Undang-undang Nmor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk itu diskusi hidup kita kali ini adalah sebagai berikut.
Pasal 54
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa pecandu
narkotika dan penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Pada Pasal 103 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
diatur lebih lanjut sebagai berikut:
(1) Hakim yang memeriksa
perkara Pecandu Narkotika dapat:
a.
memutus untuk memerintahkan
yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika
tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b.
menetapkan dan
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika
tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, hakim peradilan militer sudah mulai
memberlakukan ketentuan tentang penerapan rehabilitasi terhadap para pelaku
penyalahgunaan narkotika. Hal ini senafas dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 01/PB/MA/III/2014 tanggal 11 Maret 2014 tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa bagi
narapidana yang termasuk dalam kategori pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika, dan bukan pengedar/bandar/kurir/produsen dapat dilakukan
rehabilitasi medis dan/atau
rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam lapas/rutan dan/atau
lembaga rehabilitasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Mengenai hal ini
sudah pernah diterapkan oleh peradilan militer dalam beberapa perkara telah
memutuskan dan memerintahkan terpidana untuk menjalani rehabilitasi. Sebagai
contoh dapat dilihat pada pertimbangan majelis hakim Pengadilan Militer III-14
Denpasar dalam putusan Nomor: 44-K/PM.III-14/AD/XII/2018 yang mempertimbangkan
bahwa untuk kepentingan efektifitas pelaksanaan pidana sekaligus pelaksanaan
rehabilitasi sosial bagi terpidana yang dilaksanakan di (Lembaga Pemasyarakatan
Militer) Masmil/Lemasmil III
Surabaya oleh lembaga rehabilitasi milik pemerintah.
Putusan yang dijatuhkan adalah
sebagai berikut:
1.
Menyatakan Terdakwa
tersebut di atas, (...dst..), terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah telah melakukan tindak pidana: “Penyalah Guna Narkotika Golongan I
bagi diri sendiri yang dilakukan secara bersama-sama”.
2.
Memidana Terdakwa oleh
karena itu dengan:
Pidana penjara
selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Menetapkan waktu selama Terdakwa berada
dalam tahanan sementara dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
3. Memerintahkan agar
selama menjalani pidananya Terdakwa menjalani rehabilitasi sosial selama 6
(enam) bulan yang dilaksanakan di Lemasmil III Surabaya oleh BNN Kabupaten
Sidoarjo.
4. Menetapkan waktu
selama Terdakwa melaksanakan rehabilitasi sosial diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
5.
(dst).
6.
(dst).
7.
Memerintahkan agar
Terdakwa tetap ditahan.
Pasal 55
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur sebagai berikut:
(1)
Orang tua atau wali dari
Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2)
Pecandu Narkotika yang
sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
(3)
Ketentuan mengenai
pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak pernah diterapkan di lingkungan
kehidupan militer. Militer yang melakukan penyalahgunaan narkotika tidak
mungkin melaporkan dirinya dengan sukarela bahwa dirinya telah melakukan
penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri atau bahkan sebagai pecandu,
dikarenakan takut jika melaporkan diri akan langsung diproses menurut hukum
pidana sehingga terhadap kasus seperti ini belum pernah diterapkan di militer.
Di dalam lingkup
peradilan militer, ketentuan tentang rehabilitasi juga diberlakukan khusus bagi
korban penyalahgunaan narkotika. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat
(1) Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014 tanggal 11 Maret 2014 tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
lembaga rehabilitasi, dengan ketentuan seperti yang dijelaskan di atas.
Bagi prajurit
TNI yang tidak dijatuhi pidana tambahan pemecatan (diberhentikan dari dinas
keprajuritan) maka pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan di lembaga
pemasyarakatan militer yang ditunjuk dan oleh lembaga rehabilitasi pemerintah.
Namun bagi prajurit TNI yang
dijatuhi pidana tambahan pemecatan maka hukuman dilaksanakan di lapas/rutan (milik sipil) dan dapat dilaksanakan
rehabilitasi medis dan/atau
sosial oleh lembaga rehabilitasi pemerintah.
Berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,
Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial, telah ditentukan bahwa kriteria penempatan
pecandu narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi adalah:
1.
Terdakwa pada saat
ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan.
2.
Pada saat tertangkap tangan
sesuai butir (a) di atas, ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan
perincian antara lain:
a.
Kelompok Methampethamine
(shabu): 1 gram;
b.
Kelompok MDMA (ecstacy) :
2.4 gram/8 (delapan) butir;
c.
Kelompok Heroin : 1,8 gram;
d.
Kelompok Kokain : 1,8 gram;
e.
Kelompok Ganja : 5 gram;
f.
Daun Koka : 5 gram;
g.
Meskalin : 5 gram;
h.
Kelompok Psilosybin : 3
gram;
i.
Kelompok LSD (d-lysergic acid
diethylamine) : 2 gram;
j.
Kelompok PCP
(phencyclidine) : 3 gram;
k.
Kelompok Fentanil : 1 gram;
l.
Kelompok Metadon : 0,5
gram;
m.
Kelompok Morfin : 1,8 gram;
n.
Kelompok Petidine : 0,96
gram;
o.
Kelompok Kodein : 0,96
gram;
p.
Kelompok Bufrenorfin : 32
mg.
3.
Surat Uji Laboratorium
Positif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan penyidik;
4.
Perlu surat keterangan dari
dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim;
5.
Tidak terdapat bukti bahwa
yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Bahwa apabila
ketentuan Pasal 127 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2010 tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap
di persidangan yang mana ternyata Terdakwa diketahui telah mengkonsumsi
Narkotika setelah Terdakwa di tes urine bukan dalam kondisi tertangkap tangan,
maka penerapan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tidak berlaku. Pertimbangan
seperti ini dijadikan dasar dalam putusan perkara narkotika Nomor: 51-K /
PM.III-14 /AD/XII/ 2015 yang diputuskan pada hari Kamis tanggal 3 Maret 2016.
Putusan yang dijatuhkan oleh
majelis hakim peradilan militer tergantung pula pada berat atau ringannya
perbuatan terdakwa.
Ketika ada
putusan pengadilan militer yang menetapkan rehabilitasi bagi terdakwa, maka
dari kesatuannya dapat mengambil kebijakan untuk yang bersangkutan diproses
pengajuan permohonan pensiun dininya dari dinas militer dengan maksud agar
prajurit yang bersangkutan dipisahkan dari kehidupan militer dengan maksud agar
tidak merusak disiplin prajurit TNI yang lain seandainya pelaku mengulangi
perbuatannya di kemudian hari. Hal ini tentunya tergantung dari pertimbangan
komandan satuan si pelaku yang sudah memahami karakter para anggota di satuannya.
Sahabat Diskusi Hidup yang
berbahagia,
Demikian diskusi hidup kita
kali ini. Untuk ketenangan dan keselamatan hidup, maka jangan lah sekali-kali
mencoba atau mendekati narkotika dalam bentuk apapun!
Semoga bermanfaat bagi kita
semua, mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan, karena sejatinya
kebenaran hanya milik Allāh SWT.
Terima kasih banyak atas perhatiannya.
Komentar