بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup, alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan yang berbeda. Kali ini penulis akan membahas diskusi hidup tentang apakah Oditur Militer dapat menyidik perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu diskusi hidup kita kali ini adalah sebagai berikut.
Rumusan dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, selalu bersifat mengantisipasi (pakai kata “dapat merugikan keuangan
negara”). Jadi tindak pidana korupsi lebih bersifat delik formal selain delik
materiel.
Pengertian umum tindak pidana
korupsi, meliputi merugikan keuangan negara dengan cara memanipulasi data
keuangan, mengambil, dan/atau tindakan penggelapan terhadap kekayaan negara
berupa uang atau benda yang mengakibatkan kerugian negara, serta
tindakan-tindakan penyuapan baik yang berupa suap aktif ataupun suap pasif yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan seorang pegawai negeri.
Sejarah singkat pengaturan
tentang tindak pidana korupsi:
1.
Sebelum masa kemerdekaan
Republik Indonesia, pengaturan tentang tindak pidana korupsi diatur dalam Wetboek
van Strafrecht (WvS), undang-undang peninggalan Belanda, yang sejak
tanggal 1 Januari 1918 telah dikodifikasi sebagai Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP);
2.
Pada tahun 1958,
dibentuklah peraturan pemberantasan korupsi penguasa perang pusat Nomor
Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958;
3.
Pada tahun 1960,
dibentuklah Perpu Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;
4.
Pada tahun 1971,
dibentuklah Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5.
Pada tahun 1999,
dibentuklah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
6.
Pada tahun 2001,
dibentuklah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perkara tindak pidana korupsi cukup
banyak di Indonesia. Apakah yang membuat orang atau korporasi melakukan tindak
pidana korupsi? Berikut ini beberapa penyebab atau alasannya:
1.
Adanya tekanan keadaan
ekonomi, didukung dengan kesempatan, maka timbul kecenderungan untuk
merasionalkan tindakannya menjadi seolah-olah bukan tindakan yang tercela;
2.
Adanya sifat tamak pada
diri manusia, didukung dengan kesempatan, dan kebutuhan yang mendesak, sehingga
cenderung menimbulkan luapan untuk melakukan tindakan yang melampaui batas;
3.
Berawal dari kegiatan
administrasi, melaksanakan birokrasi dalam pekerjaannya di pemerintahan, namun
karena moralitas manusia yang rendah tertanamlah cara berpikir yang keliru,
yang mana cara berpikir tersebut masih ada tertanam pada sebagian masyarakat
yang akhirnya menjadi budaya dalam kehidupan sosial masyarakat.
Unsur-unsur
dakwaan dalam tindak pidana korupsi tidak selalu selengkap unsur-unsur yang
biasa didakwakan dalam perkara tindak pidana umum. Unsur subyektif biasanya
mengenai kesengajaan atau kelalaian, maksud dari suatu percobaan, berbagai
maksud, adanya perencanaan terlebih dahulu, dan perasaan takut. Unsur obyektif
mengenai sifat melawan hukumnya, kualitas dari pelaku, dan kausalitas. Pada
perumusan tindak pidana korupsi, unsur kesengajaan atau kelalaian tidak selalu
disyaratkan ada dalam tiap-tiap pasal yang mengatur tindak pidana korupsi, karena
dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
lebih mensyaratkan adanya kemungkinan kerugian negara atau perekonomian negara,
penyalahgunaan wewenang atau jabatan, atau tindakan penyuapan baik yang aktif
ataupun yang pasif.
Metode
penyelesaian perkara yang dilakukan oleh penyidik terhadap tindak pidana
korupsi di lingkungan peradilan militer berbeda mekanismenya dibandingkan
dengan penyelesaian perkara terhadap tindak pidana militer maupun umum. Oditur
Militer dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh prajurit TNI berdasarkan Undang-undangNomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal 2 KUHPM mengatur bahwa terhadap tindak pidana yang
tidak tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, yang dilakukan
oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan peradilan militer, diterapkan
hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Dikuatkan juga dengan
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bahwa Oditur Militer diberi wewenang untuk
bertindak sebagai penuntut umum, pelaksana putusan atau penetapan pengadilan,
dan sebagai penyidik. Oditur Militer diberi kewenangan untuk melakukan
penyidikan terhadap perkara tertentu atas perintah dari Oditur Jenderal TNI.
Setelah Oditur
Militer melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
prajurit TNI atau orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan peradilan
militer, maka berkas perkaranya langsung dikirim ke pengadilan militer untuk
disidangkan tanpa meminta persetujuan atau tanggapan Perwira Penyerah Perkara
(Papera) dari terdakwa terlebih dahulu. Hal ini memang mengesampingkan
ketentuan Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, berdasarkan ketentuan Pasal 40
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Sahabat Diskusi Hidup yang
berbahagia,
Demikian diskusi hidup kita kali
ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua, mohon maaf jika ada
hal-hal yang tidak berkenan, karena sejatinya kebenaran hanya milik Allah SWT.
Komentar