بِالسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِاَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Yth. Sahabat Diskusi Hidup, alhamdulillāh kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan yang berbeda. Kali ini penulis akan membahas diskusi hidup tentang tindak pidana khusus di lingkungan militer. Pada diskusi hidup kali ini kita mengambil salah satu contoh tindak pidana militer sebagai berikut.
Tindak pidana militer yang pada umumnya terdapat dalam KUHPM dapat dibagi dua bagian yaitu :
1. Tindak pidana murni, yaitu
tindakan-tindakan terlarang/diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin
dilanggar oleh seorang militer, karena keadaan yang bersifat khusus atau karena
suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai
tindak pidana.
2. Tindak pidana campuran,
yaitu tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah
ditentukan dalam perundang-undangan lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM
(atau dalam Undang-Undang Hukum Pidana Militer lainnya) karena adanya sesuatu
keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga
diperlukan acaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari
ancaman kejahatan yang semula dengan pemberatan tersebut dalam Pasal 52 KUHP.
Tindak Pidana Militer merupakan
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit. Secara umum tindak pidana
yang dilakukan oleh prajurit adalah sama dengan yang dilakukan oleh orang yang bukan prajurit, seperti
perkelahian, pencurian dan lain sebagainya. Akan tetapi ada tindak pidana
tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh anggota militer saja, yaitu tindak
pidana desersi yang masuk dalam lingkup tindak pidana militer murni. Dalam
kenyataannya tindak pidana desersi belum banyak masyarakat mengetahui, meskipun
dalam kitab undang-undang hukum pidana umum terdapat pasal yang membicarakan
masalah tindak pidana. Untuk memberikan gambaran maka akan diuraikan secara
singkat mengenai tindak pidana desersi.
Yang dimaksud dengan
tindak pidana desersi sesuai dengan pasal 87 KUHPM yaitu:
1) Diancam
karena desersi, militer:
ke-1, Yang pergi
dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya,
menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer
pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;
ke-2, Yang karena
salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu
damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat
hari ;
ke-3, Yang dengan
sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut
melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan,
seperti yang diuraikan pada pasal 85 ke-2.
2) Desersi
yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua
tahun delapan bulan.
3) Desersi
yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum
delapan tahun enam bulan.
Dari perumusan pasal 87 dapat disimpulkan ada dua bentuk desersi yaitu :
1) Bentuk desersi murni (pasal 87
ayat 1 ke-1) dan
2) Bentuk
desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin (Pasal 87
ayat ke-2 dan ke-3).
Memahami
kondisi tersebut di atas agar dalam penyelesaian tindak pidana desersi dapat
dilakukan dengan efektif dan efisien maka peranan Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) sebagai
salah satu Penyidik di lingkungan Militer mempunyai peran utama yang sangat
penting.
Dari tulisan ini diharapkan dapat
memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1. Sebagai
sarana bagi penulis untuk menyumbangkan pemikiran yuridis, serta menambah
kepustakaan hukum tentang masalah-masalah hukum militer, khususnya dalam hal
desersi yang dilakukan oleh anggota TNI AD. Serta memberikan gambaran yang
jelas kepada seluruh prajurit TNI AD mengenai hukum militer serta akibat
hukumnya apabila anggota TNI AD melakukan desersi.
2. Dapat
menjadi tambahan referensi bagi para Komandan Satuan dalam mencegah dan
mengatasi anggotanya dalam mengatasi permasalahan desersi maupun pelaku desersi
serta instansi yang terkait khususnya instansi penegak hukum, supaya
bersungguh-sungguh dalam mencegah dan mengatasi tindak pidana desersi yang
dilakukan oleh Prajurit TNI AD.
3. Sebagai
media informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas untuk mengetahui
penerapan hukum bagi anggota TNI AD. Karena masih banyak Komandan Satuan serta
Prajurit TNI AD yang belum memahami tentang hukum pidana militer.
Dalam penulisan ini menggunakan landasan Pasal 74 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang
menjelaskan bahwa salah satu kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum (ANKUM)
adalah melakukan penyidikan terhadap prajurit yang berada di bawah wewenang
komandonya.
Beberapa faktor penyebab prajurit melakukan tindak pidana desersi antara lain adalah :
a. Masih terdapat oknum-oknum prajurit
yang bersikap dan berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI, dan hal ini berpengaruh pada prajurit
lainnya, baik secara perorangan maupun kelompok yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum, norma-norma lainnya yang berlaku dalam
kehidupan atau bertentangan dengan peraturan kedinasan, disiplin, dan tata tertib di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
b. Kurangnya rasa memiliki terhadap satuan
oleh prajurit dan beberapa prajurit yang tidak mempunyai tugas pokok (job description) yang pasti sehingga
banyak diantara mereka yang setiap harinya hanya datang untuk melaksanakan apel
pagi dan apel siang, hal inilah yang lama-lama akan menimbulkan suatu
kejenuhan.
c. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi
akan berpengaruh terhadap cara berpikir dan pola hidup prajurit. Ketika income (pemasukan) tidak seimbang dengan
pengeluaran, maka seorang prajurit berfikir untuk mencari “tambahan
penghasilan” di luar dinas sekalipun cara yang ditempuh/pekerjaan tersebut
menjadi larangan bagi setiap prajurit.
d. Kondisi Lingkungan yang telah mengalami
pergeseran nilai disegala aspek kehidupan, maka seorang prajurit harus mampu
untuk membedakan dan memilah apa yang harus dilakukan.
e. Tingkat
Keimanan seorang prajurit mempunyai pengaruh yang sangat besar ketika
dihadapkan pada suatu masalah, apabila prajurit tersebut mempunyai keyakinan
bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan selalu memberikan jalan keluar atas
permasalahannya maka prajurit tersebut tidak akan memilih jalan pintas dengan
lari meninggalkan satuannya.
Tindak Pidana Desersi pada mulanya
dimulai dari tindak pidana THTI namun karena situasi dan jangka waktu yang
telah ditetapkan oleh Undang-Undang telah terlewati sehingga terjadilah tindak
pidana Desersi. Pada saat Prajurit melakukan ketidakhadiran tanpa izin yang sah, maka
Satuan membuat laporan atas permasalahan tersebut terhadap Komando Atas secara
berturut-turut yaitu 7(tujuh) hari, 14 (empat belas) hari dan 21 (dua puluh
satu) hari disertai dengan dikeluarkannya Daftar Pencarian Orang (DPO). Setelah
ketidakhadiran tanpa izin yang sah tersebut melebihi 30 (tiga puluh) hari, maka
satuan dapat mengajukan usul pemberhentian sementara dari jabatan (Schorsing).
Berdasarkan Pasal 1 ayat 9
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mengenai
pengertian Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai kewenangan untuk
menjatuhkan hukuman disiplin menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini. Kewenangan
Atasan Yang Berhak Menghukum menjadi penyidik diatas dalam Pasal 69
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer:
(1) Penyidik adalah :
a. Atasan yang Berhak Menghukum;
b. Polisi Militer; dan
c. Oditur.
Atasan yang Berhak Menghukum dalam proses penyelesaian tindak pidana desersi
yang dilakukan oleh anggota TNI AD mempunyai wewenang sebagaimana yang diatur
dalam pasal 74 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sebagai berikut :
a. Melakukan penyidikan terhadap prajurit
bawahannya yang ada dibawah wewenang komandannya yang pelaksanaannya dilakukan
oleh penyidik sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b (yaitu Polisi
Militer) atau huruf c (yaitu oditur);
b. Menerima laporan pelaksanaan penyidik dari
penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf b atau huruf c;
c. Menerima berkas hasil penyidikan dari
penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1huruf b atau huruf c; dan
d. Melakukan penahanan terhadap tersangka
anggota bawahanya yang ada wewenang komandannya.
Proses pemeriksaan ini
dilakukan oleh penyidik. Penyidik dalam hal ini adalah seorang Ankum sesuai
dengan Pasal 96 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Yang bertindak
selaku Ankum adalah komandan, yang berwenang sesuai dengan peraturan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 Tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Karena itu sudah merupakan kewajiban selaku
komandan yang mempunyai tugas dan tanggung jawab penuh terhadap bawahan, untuk
menjaga kedisiplinan pasukan, agar pasukan tersebut dapat menjalankan tugasnya.
Setelah proses
tersebut telah selesai dilakukan oleh Komandan Satuan (Ankum), maka selanjutnya
perkara tersebut dapat dilimpahkan ke Polisi Militer untuk dilakukan proses
hukum guna disidangkan di Peradilan Militer, dan untuk tindak pidana desersi dapat dilakukan siding secara In Absentia / tanpa kehadiran Terdakwa (Pasal 141 Ayat (10) Jo. Pasal 143
Undang-Undang No 31 Tahun 1997). Apabila dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari setelah melakukan
ketidakhadiran tanpa izin yang sah prajurit tersebut masih belum kembali dan
perkara tersebut telah selesai disidangkan di Peradilan Militer maka Ankum
mempunyai kewenangan untuk mengajukan Usul Pemberhentian Dengan Tidak Hormat
secara Administrasi dengan syarat dilampiri Putusan Pengadilan Militer yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap walaupun dalam Putusan Pengadilan Militer
tersebut tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.
Belajar
dari beberapa kasus tindak pidana desersi yang terjadi, upaya yang dapat
dilakukan dalam menanggulanginya dapat dilakukan secara preventif, yaitu
merupakan upaya pencegahan timbulnya desersi tersebut dan dapat pula dilakukan
secara represif, yaitu upaya menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian yang
telah terjadi. Upaya preventif yang dapat dilakukan seorang Komandan diantaranya adalah:
1)
Memberikan perhatian terhadap bawahan /
anggota, baik secara moril maupun materiel.
2)
Melakukan jam komandan secara rutin.
3) Jangan pernah bosan untuk selalu mengingatkan kepada anggota/bawahan mengenai aturan-aturan yang berlaku bagi seorang prajurit TNI.
4) Berkoordinasi dengan bintal yang berada di wilayahnya untuk memberikan penyuluhan secara rutin yang berkaitan dengan peningkatan kualitas keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5) Berkoordinasi dengan Dinas Psikologi Angkatan Darat untuk memberikan penyuluhan secara rutin berkaitan dengan toleransi stres, kedisiplinan kerja prajurit.
6) Agar para Komandan Satuan dan/atau Ankum bersedia hadir dalam penyuluhan hukum yang diadakan oleh Kumdam maupun Kumrem agar dapat mengetahui mekanisme penyelesaian setiap permasalahan hukum yang terjadi di satuannya.
Sehingga
dengan adanya upaya tersebut diharapkan perbuatan desersi itu dapat dicegah seminimal mungkin. Oleh karena itu butuh perhatian yang
serius dari para Atasan baik yang berada di lingkungan kerja prajurit tersebut maupun yang berada di luar kesatuan dari prajurit (keluarga, lingkungan, dan bimbingan rohani) serta perhatian
dan peranan dari Komando untuk dapat mengatasi segala
permasalahan yang terjadi.
Sehingga
Idealnya prajurit TNI bisa menyeimbangkan diri ketika menghadapi rutinitas
kerja yang padat dengan hal-hal yang bersifat internal. Prajurit sejati
konsisten dalam berbicara dan bertindak serta sanggup menjalani setiap perintah
yang diberikan tanpa terganggu oleh permasalahan personal.
Yth. Sahabat Diskusi Hidup yang berbahagia,
Demikian
diskusi hidup kita kali ini, mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan, karena
sejatinya kebenaran hanya milik Allah SWT.
Terima kasih banyak atas perhatiannya.
Komentar